SOROT BERITA | JAKARTA - Sentinel Energy Indonesia (SEI) menduga Direktur Utama PPN, ME, mengendalikan skema bahan bakar minyak (BBM) Non-PSO bermasalah yang mencakup praktik monopoli dan distribusi BBM di bawah spesifikasi.
Organisasi pemantau energi itu menyatakan, ME diduga menjadi sosok sentral dalam kebijakan BBM Non-PSO yang bermasalah sejak 2023, ketika masih menjabat sebagai Direktur Pemasaran Regional PPN. Kebijakan tersebut dinilai, menutup kompetisi pasar dan membuka ruang penyimpangan di sektor energi nasional.
"Yang kami lihat bukan kesalahan administratif. Ini sistem yang disusun rapi, jadi sengaja by design, ada larangan, ada pemaksaan, dan ada bahan bakar di bawah standar yang tetap beredar di pasar nasional. Semua benangnya bermuara pada pucuk pimpinan PN saat ini, Direktur Utama, ke ME," ungkap Koordinator Nasional SEI, Hexa Todo, Selasa (15/10/2025).
SEI mencatat pada 2023, saat ME menjabat sebagai Direktur Pemasaran Regional PPN, terbit kebijakan yang melarang penjualan BBM Non-PSO kepada stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta. Kebijakan ini diduga, memaksa pelaku usaha swasta mengurus impor sendiri dengan birokrasi rumit dan biaya tinggi.
"Begitu larangan diberlakukan, swasta kehilangan peran. Pasar dikunci, dan persaingan mati. BBM Non-PSO berubah menjadi arena tunggal di bawah kendali satu tangan," kata Hexa.
Menurut Hexa, kebijakan tersebut mematikan persaingan sehat dan menguras devisa negara karena SPBU swasta kehilangan akses pasar.
Pada 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan kebijakan baru yang mewajibkan SPBU swasta membeli BBM dari PPN setelah kuota impornya habis, dengan harga dan spesifikasi yang ditetapkan sepihak oleh PPN.
SEI menduga, kebijakan ini lahir dari tekanan politik dan hukum seiring munculnya pemeriksaan Kejaksaan Agung, terhadap kasus dugaan korupsi BBM di PN yang menyeret Direktur Utama RS dan pengusaha MRC.
"Tekanan itu terasa. Swasta dipaksa beli dari PPN, sementara PPN bebas menentukan harga dan spesifikasi. Ini bukan mekanisme pasar, ini pemaksaan kebijakan," ujar Hexa.
Hexa menyebut pada 19 September 2025, dalam pertemuan di kantor Kementerian ESDM, pelaku usaha swasta dan PPN sepakat bahwa bahan bakar harus sesuai spesifikasi dan boleh diinspeksi di pelabuhan asal.
Namun, dua minggu kemudian, BBM diduga dikirim tanpa inspeksi independen. Ketika swasta mengadukan hal ini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI pada 1 Oktober 2025, ME tidak hadir dan mewakilkan Wakil Direkturnya.
"Ketidakhadirannya bukan karena jadwal, tapi karena ada kejahatan yang disembunyikan meski sudah jelas terlihat secara kasat mata," ujar Hexa.
SEI mencatat temuan ini diduga memperkuat adanya jaringan kekuasaan yang lebih luas, dalam tata niaga BBM Non-PSO.
Pertama, dalam konferensi pers Kejaksaan Agung pada 10 Juli 2025, sembilan tersangka diumumkan termasuk AN dan MRC yang disebut sebagai beneficial owner PT OTM.
Kedua, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap NW, ME, dan AN diduga menjual solar industri ke perusahaan tambang Grup A di bawah harga solar bersubsidi, bahkan di bawah Harga Pokok Penjualan (HPP).
"Jika benar, maka subsidi publik secara diam-diam berpindah ke kantong korporasi besar," tegas Hexa.
Ketiga, terkait isu harga Pertalite, Pertamina disebut mengusulkan formula Harga Indeks Pasar (HIP) Pertalite RON 90 sebesar 99,21 persen dari Mean of Platts Singapore (MOPS) RON 92 dengan dalih Pertalite merupakan oplosan Mogas RON 88 dan RON 92.
"Dengan kata lain, publik membeli campuran kompromi yang dijual dengan harga penuh," papar Hexa.
Hexa menyebut, dari hasil investigasi SEI dan penelusuran pemberitaan, terlihat pola yang konsisten: pertama, larangan menjual BBM Non-PSO ke swasta; kedua, pemaksaan pembelian dari PPN; ketiga, dugaan pelanggaran spesifikasi dalam distribusi.
"Pertanyaannya sederhana: dari mana asal kargo BBM itu? Siapa yang menyetujui pengirimannya? Dan apakah Pertamina sadar bahwa BBM Non-PSO di bawah spesifikasi ini sudah lama beredar di pasar nasional?" tanya Hexa.
SEI mendesak langkah konkret dari pemerintah dan aparat penegak hukum dengan tiga tuntutan:
Pertama, audit independen atas seluruh transaksi BBM Non-PSO Pertamina Patra Niaga periode 2023-2025.
Kedua, keterbukaan data impor dan izin jual-beli BBM Non-PSO oleh Kementerian ESDM dan BUMN.
Ketiga, penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan praktik impor BBM di bawah spesifikasi.
"Energi adalah nadi negara, bukan sumber rente bagi pejabat. Ketika pasar dikunci, mutu dikorbankan, dan hukum bungkam, yang tersisa hanyalah kejahatan yang dilegalkan oleh kebijakan. Negara tidak boleh menutup mata. Publik berhak tahu, dan hukum wajib turun tangan," pungkas Hexa.
Tim Sorot Berita siap untuk menanyangkan keterangan klarifikasi atau tanggapan resmi dari pihak terkait, mengenai atas tanggapan dari pemberitaan yang sudah tayang. (***)