SOROT BERITA | JAKARTA - Pengakuan mengejutkan terlontar dalam sidang pledoi kasus sumpah palsu, yang menyeret nama pengacara senior Ike Farida, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/11/2024).
Ike yang telah berkiprah di dunia hukum lebih dari dua dekade itu, mengklaim ketidakpahamannya tentang prosedur litigasi.
"Yang Mulia, terus terang saya banyak belajar dari kasus ini. Selama ini saya tidak begitu paham beracara litigasi, dan tidak paham kalau pengajuan novum harus ada sumpah," ujar Ike dalam pembelaannya.
Pernyataan tersebut sontak menuai kontradiksi, mengingat profil Ike Farida sebagai pendiri Farida Law Office sejak 2002.
Sementara itu, Yahya Tulus Nami Hutabarat, yang pernah menjadi partner di kantor hukum tersebut periode 2014-2017, memberikan kesaksian berbeda.
"Saya bersaksi di bawah sumpah, Ike Farida adalah lawyer senior yang sangat memahami prosedur litigasi. Selama bermitra, saya menyaksikan langsung bagaimana beliau menangani berbagai kasus di pengadilan," tegas Hutabarat di hadapan majelis hakim.
Penelusuran digital mengungkap fakta bahwa ike telah terjun ke dunia litigasi sejak 2004. Kasus high-profile pertamanya adalah gugatan terhadap Coca-Cola senilai Rp60 miliar, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Hasil analisis forensik digital menunjukkan keterlibatan aktif terdakwa dalam proses peninjauan kembali. Kami menemukan komunikasi intensif antara terdakwa dengan kuasa hukumnya, Nurindah MM Simbolon, di mana terdakwa memberikan arahan detail tentang strategi hukum," ungkap ahli digital forensik, Saji Purwanto.
Di tempat yang sama, Prof. Dr. Suhandi Cahaya, pakar hukum pidana yang dihadirkan jaksa, memaparkan analisis mendalam tentang unsur kesengajaan dalam kasus ini.
"Ada tiga elemen penting: opzet atau kesengajaan, actus reus yaitu perbuatan salah, dan mens rea atau niat jahat. Rangkaian tindakan terdakwa, mulai dari penolakan konsinyasi hingga pelaporan pidana terhadap pengembang, menunjukkan pola yang terencana," jelasnya.
Kasus ini bermula dari transaksi properti yang gagal. Pengembang telah menawarkan pengembalian dana secara utuh, melalui konsinyasi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
"Kami sudah berupaya maksimal untuk menyelesaikan masalah ini secara damai. Dana telah kami siapkan melalui konsinyasi, namun terdakwa justru melaporkan kami dengan tuduhan penggelapan," ungkap Direktur Legal pengembang.
Laporan pidana tersebut akhirnya di-SP3 karena tidak ditemukan bukti pidana. Namun, Ike Farida kemudian mengajukan gugatan perdata dengan tuntutan kompensasi yang lebih besar.
Nurindah MM Simbolon, kuasa hukum yang mengajukan Peninjauan Kembali, memberikan kesaksian krusial.
"Setiap langkah hukum, termasuk pengajuan novum, selalu dikonsultasikan dan disetujui oleh Ibu Ike. Beliau bahkan membubuhkan paraf pada dokumen memori PK," paparnya.
Dr. Haris Azhar, pengamat hukum dari Universitas Indonesia, menilai kasus ini sebagai pembelajaran penting bagi profesional hukum.
"Kasus ini mengingatkan, bahwa gelar akademis dan pengalaman profesional harus sejalan dengan integritas. Pengakuan tidak memahami prosedur hukum dari seorang doktor hukum justru bisa menjadi bumerang," tutupnya.
Diketahui, Berdasarkan bukti-bukti yang terungkap di persidangan, jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 242 ayat (1) KUHP.
Jaksa juga meminta agar sertifikat hak milik unit rumah susun, dan kunci apartemen yang masih dipegang terdakwa dikembalikan kepada pengembang.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda replik dari Jaksa Penuntut Umum. (Red)